Langsung ke konten utama

kolektif Ummat : Blue Gold, Ulama, dan Krisis Arah

Blue Gold, Ulama, dan Krisis Arah

Ketika Air Jadi Komoditas, dan Umat Kehilangan Kompasnya

Oleh: Dimas Fajri Adha

Lead (Teraju):

Air kini bukan sekadar kebutuhan biologis, tapi simbol kuasa. Ketika ia dikemas, dijual, dan dikuasai oleh segelintir pihak, umat yang besar ini justru terdiam—tak tahu harus bersuara ke mana. Di sinilah kita bertanya: di mana peran ulama dalam membela sumber kehidupan itu?


1. Air, Komoditas, dan Konsep “Blue Gold”

Dalam literatur lingkungan global, istilah “Blue Gold” (Barlow & Clarke, 2002) mengacu pada transformasi air dari hak dasar manusia menjadi komoditas ekonomi. Proses ini muncul saat negara membuka ruang privatisasi atas sumber air, dan menjadikannya ladang bisnis melalui industri air minum kemasan atau infrastruktur berbayar.

Menurut World Bank (2022) dan kajian UNESCO WWAP, pada tahun 2030 lebih dari 40% populasi dunia akan menghadapi kelangkaan air. Di Indonesia, laporan WALHI dan AMRTA Institute menunjukkan beberapa sumber mata air di pegunungan dikuasai korporasi atas dasar konsesi legal yang minim transparansi.

Air, yang dalam Islam dikategorikan sebagai harta milik umum (al-milkiyah al-‘ammah), kini diperlakukan layaknya aset pribadi.


2. Dimensi Syariah: Air sebagai Hak Bersama

Dalam fikih Islam, hadis Rasulullah ﷺ sangat tegas:

> "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api."
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah – Shahih)



Hadis ini adalah landasan bagi prinsip fiqh al-bi'ah (fikih lingkungan) dan maslahah ‘ammah (kepentingan umum). Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu), segala hal yang menjadi kebutuhan vital bagi kelangsungan hidup—termasuk air—tidak boleh diprivatisasi secara zalim oleh individu atau kelompok.

Namun, di tengah krisis pengelolaan air ini, umat Islam justru belum menunjukkan perlawanan kolektif yang memadai. Ini menandakan kesenjangan antara potensi teologis dan kenyataan praksis.


3. Umat yang Sibuk, Tapi Tidak Bergerak

Secara sosial-politik, Pierre Bourdieu dalam teori modal sosial dan simbolik menyebut bahwa kekuatan masyarakat bukan hanya dilihat dari jumlah, tapi dari kemampuan mengorganisasi pengaruh. Ulama hari ini, meskipun memiliki massa (jamaah), jaringan media, dan status simbolik, belum terkelola dalam satu sistem gerakan kolektif.

Sebagian besar terserap dalam dinamika dakwah personal, logika konten viral, atau tuntutan ekonomi lembaga dakwah. Fenomena ini selaras dengan kritik Abdullahi an-Na'im, bahwa agama bisa terjebak menjadi komoditas budaya ketika kehilangan arah transformasi sosialnya.

> “Janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah...”
(QS. Al-Baqarah: 41)



Ayat ini adalah peringatan bahwa wahyu tidak boleh menjadi alat tukar demi kepentingan sempit, apalagi ketika masyarakat kehilangan akses terhadap kebutuhan dasarnya.


---

4. Mengapa Ulama Tidak Bergerak Kolektif?

Permasalahan utama bukan kurangnya jumlah ulama atau tokoh umat, melainkan kekosongan metode jam'iyah (kolektif). Kebanyakan gerakan hari ini masih bersifat individual, lokal, dan tidak terhubung dalam platform strategis yang menyasar isu-isu struktural seperti kedaulatan air, pangan, dan tanah.

Analisis ini diperkuat oleh temuan Noorhaidi Hasan (2020) dalam Islam Nusantara dan Kontestasi Islam Politik, bahwa setelah era reformasi, banyak tokoh agama yang justru masuk dalam orbit politik transaksional atau ekonomi pasar dakwah, bukan dalam proyek sosial-transformasional.


5. Penutup: Seruan untuk Kembali pada Arah Umat

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)



Kini saatnya menghidupkan kembali semangat kolektif umat — bukan sekadar untuk urusan elektoral, tapi untuk kedaulatan sumber daya vital seperti air.
Para ulama perlu keluar dari rutinitas ceramah seremonial, dan masuk ke medan dakwah yang konkret—mewakafkan air, melindungi sumber daya lokal, serta menyatukan jamaah dalam gerakan jam’iyah berbasis maslahat.

Kalau tidak, umat ini akan menjadi lautan besar yang hanya bergelombang di permukaan, tapi tak mampu menumbuhkan kehidupan.


---

Referensi Akademik:

Barlow, Maude & Clarke, Tony. (2002). Blue Gold: The Battle Against Corporate Theft of the World's Water. Earthscan.

Swyngedouw, Erik. (2005). Dispossessing H2O: The Contested Terrain of Water Privatization. Capitalism Nature Socialism.

Wahbah Az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol. 1.

UNESCO World Water Assessment Programme (WWAP) Reports.

Noorhaidi Hasan. (2020). Islam Nusantara dan Kontestasi Islam Politik di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga.

Bourdieu, Pierre. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.

An-Na’im, Abdullahi. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum DAWAI Gelar Halalbihalal: Satukan Semangat Dakwah Wasathiyah di Bekasi Timur

Bekasi, 4 Mei 2025 — Forum Dai Wasathiyah Indonesia (DAWAI) menyelenggarakan kegiatan halalbihalal berlokasi di area Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur. Acara ini menjadi momen penting untuk mempererat ukhuwah dan merawat semangat dakwah di tengah dinamika zaman yang terus berubah. Acara ini turut mengundang sejumlah tokoh penting sebagai bentuk dukungan dan pembinaan terhadap gerakan dakwah para dai muda. Hadir dalam kesempatan tersebut KH. Drs. Nur Rasyid, M.Pd.I., M.Si. selaku perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bekasi Timur, para alumni senior Program Kaderisasi Ulama (PKU) MUI Kota Bekasi dari angkatan I hingga III, serta para dosen pembina PKU, seperti KH. Jamalullail, Lc. dan Dr. Sa’dullah, M.Si.. Kehadiran mereka memberikan warna tersendiri bagi Forum DAWAI—yang dibentuk oleh alumni PKU angkatan IV—dalam upaya memberikan arahan, masukan, dan semangat kepada para dai muda agar mampu menjadi pelanjut estafet dakwah di Kota Bekasi secara cerdas, konsisten, ...

Life's Too Short to Worry So Much

Life’s Too Short to Worry So Much: Inspirasi untuk Jiwa yang Terlalu Sibuk Cemas Oleh : Dimas Fajri Adha, SE. Kita hidup di zaman yang menuntut banyak hal: performa tinggi, stabilitas finansial, relasi yang ideal. Akibatnya, banyak dari kita terjebak dalam overthinking. Kita takut gagal, takut miskin, takut ditinggal, takut tidak mencapai ekspektasi dunia. Tapi, pertanyaannya: apakah hidup ini memang untuk dicemaskan? Ataukah untuk dijalani dengan tenang dan iman yang matang? Hidup ini terlalu singkat untuk kita habiskan dalam bayang-bayang kecemasan. Dunia ini bukan untuk dimiliki, tapi untuk dilalui—dengan sabar dan syukur. 1. Perspektif Ilmiah: Kecemasan dan Kerusakan Sistemik Studi dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa stres kronis dapat merusak sistem imun, mempercepat penuaan sel, dan menjadi penyebab utama penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bahkan depresi. Dalam bahasa ringkas: terlalu banyak cemas membuat kita “mati lebih cepat” secara fisik dan psikis....

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda 15 Apr 2023, 13:03 WIB Ketujuh pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi hidup pada masa Kaisar Decius. Alquran mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai Para Penghuni Gua (Ashabul Kahfi), yang dinarasikan dalam Surah al-Kahf ayat 9–26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi dan kapan peristiwa yang dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi. Kalangan sejarawan yang mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus). Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat—sekitar tiga kilometer Distrik Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Daerah yang diduga menjadi tempat tinggal Ashab al-Kahfi tidak hanya itu. Selain di sekitar Selçuk, ada pula Gua Eshab-ı Kehf, yang kini sebuah destinasi wisata di wilayah utara Kota Tarsus, Provinsi Mersin. Kemudian, Gua Eshab-ı Kehf Kulliye (Kompleks Utsmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras. Pemerinta...