Waspada Jualan Agama Abrahamik
Polarisasi Aqidah di Balik Pluralisme dan Forum Interfaith
🖋️ Oleh: Dimas Fajri Adha
Abu Dhabi kini menjadi sorotan dunia setelah meresmikan Abrahamic Family House, kompleks tiga tempat ibadah—masjid, gereja, dan sinagoga—yang diklaim sebagai simbol persaudaraan antarumat beragama. Namun, bagi sebagian kalangan Muslim, proyek ini menyimpan kekhawatiran mendalam: apakah ini bentuk toleransi, atau pengaburan aqidah yang dibungkus rapi?
🔍 Toleransi atau Normalisasi Sinkretisme?
Istilah “Agama Abrahamik” kembali mengemuka dalam wacana global. Secara historis, istilah ini mengacu pada tiga agama besar yang mengklaim sebagai pewaris ajaran Nabi Ibrahim: Islam, Kristen, dan Yahudi. Namun dalam praktiknya, istilah ini digunakan untuk menyatukan agama-agama itu dalam satu platform ideologis, demi agenda global bernama "perdamaian lintas iman".
“Seruan untuk menyatukan agama-agama adalah kekufuran kepada Allah, karena itu berarti mendustakan Al-Qur’an dan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah penutup para nabi,” tegas Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan, ulama senior di Arab Saudi.
🧠 Pluralisme Teologis: Bahaya yang Tidak Terlihat
Di satu sisi, dialog antariman memiliki manfaat sosial: meredakan konflik dan membangun koeksistensi. Namun, pluralisme teologis—yang menyamakan semua agama sebagai jalan keselamatan—bertabrakan langsung dengan prinsip Tauhid dalam Islam.
“Persaudaraan kemanusiaan tidak boleh dijadikan alasan untuk menyamakan agama-agama. Agama yang benar di sisi Allah hanya satu, yaitu Islam,” kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi (rahimahullah), tokoh ulama moderat dari Mesir.
Dalam Islam, tasamuh (toleransi) berbeda dari taswiyah (penyeragaman). Menghormati agama lain tidak berarti mengakui kebenaran teologisnya.
🇮🇩 Indonesia: Di Mana Umat Berdiri?
Indonesia sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, tidak luput dari aktivitas interfaith sejenis. Berbagai organisasi, baik lokal maupun yang didukung asing, aktif menggalang forum lintas iman, bahkan dalam beberapa kasus menggunakan dana luar negeri (seperti USAID dan Ford Foundation) untuk proyek pluralisme agama.
Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, mengingatkan bahwa pluralisme bukan sekadar ide, tapi juga alat untuk membelokkan aqidah umat Islam dari dalam.
> “Pluralisme agama bukan hanya membingungkan umat Islam, tetapi juga menyebarkan relativisme moral dan aqidah yang berbahaya,” tegasnya dalam buku Pluralisme Agama: Haram.
Forum seperti “Religious Harmony”, “Faith Forum”, atau bahkan program moderasi beragama yang digalakkan tanpa pagar aqidah sering memunculkan pernyataan-pernyataan yang membingungkan umat, seperti:
“Semua agama mengajarkan kebaikan, jadi semuanya benar.”
“Jangan sombong mengklaim agamamu paling benar.”
“Beragama tidak penting, yang penting bertuhan.”
Ini bukan lagi sekadar retorika sosial. Ini adalah rekayasa teologis yang dikemas sebagai nilai bersama.
🧭 Kembali ke Pondasi: Islam, Tauhid, Shirath
Ironisnya, saat narasi global makin deras mengajak umat menyatu dalam "agama bersama", istilah pokok seperti Tauhid, Al-Islam, dan Shirathal Mustaqim justru makin jarang disentuh dalam ceramah dan kurikulum umum.
“Umat Islam mulai kehilangan kosa kata imannya sendiri,” tulis Dr. Ali Muhammad al-Shalabi, sejarawan asal Libya, dalam satu esainya.
“Padahal Tauhid adalah pondasi seluruh sejarah kenabian.”
Islam tidak mengajarkan permusuhan pada pemeluk agama lain. Bahkan Rasulullah ﷺ hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani di Madinah, dengan perjanjian damai yang adil. Namun beliau tetap tegas dalam aqidah: “Laa ilaaha illallah” tetap menjadi fondasi segala interaksi.
Umat Islam hari ini tidak boleh buta terhadap arus besar. Toleransi yang dibangun tanpa pagar aqidah akan membuka pintu polarisasi internal: antara umat yang setia pada ajaran, dan umat yang larut dalam arus sinkretisme global.
🧾 Catatan Redaksi:
Abrahamic House resmi dibuka pada Februari 2023 di Abu Dhabi sebagai bagian dari inisiatif Document on Human Fraternity yang diteken oleh Paus Fransiskus dan Syaikh Al-Azhar.
Sejumlah organisasi Islam dan ulama dunia menyambutnya secara kritis, menyarankan dialog antariman tetap berpijak pada prinsip aqidah masing-masing.
Di Indonesia, proyek sejenis perlu diawasi ketat agar tidak menjadi pintu masuk relativisme agama dalam dunia pendidikan dan dakwah.
“Islam adalah agama yang terbuka untuk damai, tetapi tidak tunduk pada relativisme.”
— Penutup editorial
Komentar
Posting Komentar