Langsung ke konten utama

Kitab Thaharah (Bersuci). BAB I : TENTANG AIR – Hadits Ke-9

 HADITS KE-9



وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ


Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


“Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.” Dikeluarkan oleh Muslim.

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Hendaklah ia membuang air itu.” Menurut riwayat Tirmidzi:

“Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)”.


Kosakata Hadits


kata طهور (thuhur) merupakan isim mashdar.


kata ولغ (walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.


kata التراب (at-turob) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah.


kata فليرقه (falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.


kata أخراهن, أو أولاهن (ukhoohunna aw uulahunna) = yang pertamannya atau yang terakhirnya.

Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir), riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhori Muslim (syaikhoin), dan juga karena debu jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih (dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).


Faedah Hadits


Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis.


Najisnya adalah najis yang paling berat.




Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian.




Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.




Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya.




Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena:


Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain.


Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya.

Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.


Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash.

Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya.

“Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah).





Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya.

Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.




Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu.

Tidak ada cara lain.

Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu.




Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini.

Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya.

“Kesulitan dapat menarik kemudahan”.



Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan mencuci najisnya anjing.

Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini, mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing yang tujuh kali dan berurutan.

Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash.

Selain itu illah (alasan) hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas.


Perbedaan pendapat ulama terhadap wajibnya menggunakan debu

Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib.

Hal ini karena kegoncangan (idhtirob)nya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”.

Oleh karena idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak adanya hukum wajib.




Imam Syafi’i dan Ahmad serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh zhohiriyah, Ishaq, Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan debu.

Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci.

Hal ini berdasarkan nash yang shahih.

Adapun celaan idhtirob pada periwayatannya ini tertolak.

Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karena idhtirob hanyalah jika idhtirobnya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi hadits unggul atas sebagian yang lain –sebagaimana dalam kasus ini- maka yang dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam ilmu ushul fiqh.

Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu penggunaan debu pada cucian yang pertama.


Perbedaan pendapat ulama, apakah najisnya anjing ini khusus pada mulut dan air liurnya saja, atau umum seluruh badan dan anggota tubuhnya?


Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum.

Mereka menyamakan badan anjing dengan mulutnya.




Imam Malik dan Dawud berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi (ibadah) bukan semata-mata karena najis.

Perkara ibadah hanya dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan hukum).


Pendapat pertama lebih rajih (unggul) karena:


Ditemukan di dalam badan anjing beberapa bagian yang lebih najis dan lebih kotor dari mulut dan lidahnya.




Asal di dalam hukum adalah ta’lil, maka dibawa kepada yang umum.




Sekarang tampak bahwa najisnya anjing adalah najis mikroba, maka sudah tidak menjadi hukum yang bisa dicari illahnya, hanyalah hukumnya berdasarkan hikmah yang jelas.

Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah menumpahkan isi (air) di dalam wadah.



Prof.

Thobaroh berkata di dalam bukunya “ruhuddin al islamiy”, “di antara hukum islam adalah menjaga badan dari najisnya anjing.

Ini adalah mukjizat ilmiah bagi Islam yang telah mendahului ilmu kedokteran modern, dimana telah ditetapkan bahwa anjing menularkan kebanyakan dari penyakit kepada manusia.

Sebab anjing mengandung cacing pita yang dapat menyebabkan penyakit kronis berbahaya bagi manusia.

Telah ditetapkan bahwa seluruh jenis anjing tidak terlepas dari cacing pita ini, maka harus dijauhi dari seluruh hal yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.”


Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum DAWAI Gelar Halalbihalal: Satukan Semangat Dakwah Wasathiyah di Bekasi Timur

Bekasi, 4 Mei 2025 — Forum Dai Wasathiyah Indonesia (DAWAI) menyelenggarakan kegiatan halalbihalal berlokasi di area Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur. Acara ini menjadi momen penting untuk mempererat ukhuwah dan merawat semangat dakwah di tengah dinamika zaman yang terus berubah. Acara ini turut mengundang sejumlah tokoh penting sebagai bentuk dukungan dan pembinaan terhadap gerakan dakwah para dai muda. Hadir dalam kesempatan tersebut KH. Drs. Nur Rasyid, M.Pd.I., M.Si. selaku perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bekasi Timur, para alumni senior Program Kaderisasi Ulama (PKU) MUI Kota Bekasi dari angkatan I hingga III, serta para dosen pembina PKU, seperti KH. Jamalullail, Lc. dan Dr. Sa’dullah, M.Si.. Kehadiran mereka memberikan warna tersendiri bagi Forum DAWAI—yang dibentuk oleh alumni PKU angkatan IV—dalam upaya memberikan arahan, masukan, dan semangat kepada para dai muda agar mampu menjadi pelanjut estafet dakwah di Kota Bekasi secara cerdas, konsisten, ...

OSIS SMPIT Thariq bin Ziyad dan Forum DAWAI Jatimulya, Bekasi Gelar Pelatihan Proposal dan Kemandirian Organisasi Pelajar

Bekasi, 16 Mei 2025 — Semangat kemandirian dan kepemimpinan mewarnai Aula SMPIT Thariq bin Ziyad Jatimulya, Bekasi, saat Forum DAWAI (Dai Wasathiyah Indonesia) bekerja sama dengan OSIS mengadakan pelatihan bertajuk "Merancang Kegiatan dan Membangun Kemandirian Pelajar". Pelatihan ini dihadiri langsung oleh Ketua Forum DAWAI, Dimas Fajri Adha, yang membawakan materi utama seputar penyusunan proposal kegiatan dan strategi membangun jejaring kerja sama (sponsorship edukatif). Dalam penyampaiannya, Dimas menjelaskan bahwa pembuatan proposal bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan bagian dari proses pembelajaran menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan komunikatif. “Ini bukan tentang cari dana, tapi tentang menunjukkan bahwa kita punya rencana yang jelas, niat yang baik, dan kemampuan untuk mewujudkannya bersama,” ujar Dimas. Ia juga membagikan trik dan tips agar organisasi pelajar dapat berjalan efektif, yakni dengan komunikasi yang terbuka dan sikap profesi...

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda 15 Apr 2023, 13:03 WIB Ketujuh pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi hidup pada masa Kaisar Decius. Alquran mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai Para Penghuni Gua (Ashabul Kahfi), yang dinarasikan dalam Surah al-Kahf ayat 9–26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi dan kapan peristiwa yang dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi. Kalangan sejarawan yang mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus). Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat—sekitar tiga kilometer Distrik Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Daerah yang diduga menjadi tempat tinggal Ashab al-Kahfi tidak hanya itu. Selain di sekitar Selçuk, ada pula Gua Eshab-ı Kehf, yang kini sebuah destinasi wisata di wilayah utara Kota Tarsus, Provinsi Mersin. Kemudian, Gua Eshab-ı Kehf Kulliye (Kompleks Utsmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras. Pemerinta...