Langsung ke konten utama

Kenapa Ulama Memilih Diam? ·

  Diam untuk Mengajari Adab kepada Muridnya · Diam Karena Tidak Tahu · Diam agar Terhindar dari Fitnah




Seseorang—dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud—mendatangi Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?” Rasulullah menjawab, “Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.” Dalam kitab yang merupakan ikhtisar karya as-Suyuthi itu mengungkapkan beberapa keutamaan diam yang pertama kali disebutkan dalam ringkasan Suyuthi adalah diam merupakan kunci keselamatan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, dan Darimi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memilih (diam) akan selamat.” Hadis ini dikuatkan dengan riwayat lain dari Anas bin Malik. Rasulullah menegaskan, barang siapa yang ingin selamat dunia akhirat, hendaknya ia tidak mengumbar kata-kata dari lisannya. Menjaga lisan dengan tidak banyak bicara adalah aktivitas yang paling ringan. Namun, memiliki perhitungan yang cukup besar di sisi-Nya. Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, Rasulullah menegaskan, “Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat.” Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah perhiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh. Karena itulah, diam adalah pamungkas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik. Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, merupakan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang berbicara? Tentu saja tidak. Berbicaralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang tak patut dibicarakan. Suatu saat, seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu'adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, “Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.” Lalu, apakah hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah untuk berdiam kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan maksud dan manfaat yang bisa diambil dari etika ini. Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga agamanya. Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karena itu, Rasulullah menyebutkan di hadis riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas 10 bagian. “(Sebanyak) sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri ('uzlah). Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam.” Merasa penasaran, seorang salaf yang bernama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja gagal. Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan ber-‘uzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil. Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan ini pun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara. Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa'id al- Khudri. Permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, “Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu, maka engkau akan mengalahkan setan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Forum DAWAI Gelar Halalbihalal: Satukan Semangat Dakwah Wasathiyah di Bekasi Timur

Bekasi, 4 Mei 2025 — Forum Dai Wasathiyah Indonesia (DAWAI) menyelenggarakan kegiatan halalbihalal berlokasi di area Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur. Acara ini menjadi momen penting untuk mempererat ukhuwah dan merawat semangat dakwah di tengah dinamika zaman yang terus berubah. Acara ini turut mengundang sejumlah tokoh penting sebagai bentuk dukungan dan pembinaan terhadap gerakan dakwah para dai muda. Hadir dalam kesempatan tersebut KH. Drs. Nur Rasyid, M.Pd.I., M.Si. selaku perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bekasi Timur, para alumni senior Program Kaderisasi Ulama (PKU) MUI Kota Bekasi dari angkatan I hingga III, serta para dosen pembina PKU, seperti KH. Jamalullail, Lc. dan Dr. Sa’dullah, M.Si.. Kehadiran mereka memberikan warna tersendiri bagi Forum DAWAI—yang dibentuk oleh alumni PKU angkatan IV—dalam upaya memberikan arahan, masukan, dan semangat kepada para dai muda agar mampu menjadi pelanjut estafet dakwah di Kota Bekasi secara cerdas, konsisten, ...

Life's Too Short to Worry So Much

Life’s Too Short to Worry So Much: Inspirasi untuk Jiwa yang Terlalu Sibuk Cemas Oleh : Dimas Fajri Adha, SE. Kita hidup di zaman yang menuntut banyak hal: performa tinggi, stabilitas finansial, relasi yang ideal. Akibatnya, banyak dari kita terjebak dalam overthinking. Kita takut gagal, takut miskin, takut ditinggal, takut tidak mencapai ekspektasi dunia. Tapi, pertanyaannya: apakah hidup ini memang untuk dicemaskan? Ataukah untuk dijalani dengan tenang dan iman yang matang? Hidup ini terlalu singkat untuk kita habiskan dalam bayang-bayang kecemasan. Dunia ini bukan untuk dimiliki, tapi untuk dilalui—dengan sabar dan syukur. 1. Perspektif Ilmiah: Kecemasan dan Kerusakan Sistemik Studi dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa stres kronis dapat merusak sistem imun, mempercepat penuaan sel, dan menjadi penyebab utama penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bahkan depresi. Dalam bahasa ringkas: terlalu banyak cemas membuat kita “mati lebih cepat” secara fisik dan psikis....

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda

Ashabul Kahfi: Konteks Awal Kisah Tujuh Pemuda 15 Apr 2023, 13:03 WIB Ketujuh pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi hidup pada masa Kaisar Decius. Alquran mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai Para Penghuni Gua (Ashabul Kahfi), yang dinarasikan dalam Surah al-Kahf ayat 9–26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi dan kapan peristiwa yang dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi. Kalangan sejarawan yang mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus). Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat—sekitar tiga kilometer Distrik Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Daerah yang diduga menjadi tempat tinggal Ashab al-Kahfi tidak hanya itu. Selain di sekitar Selçuk, ada pula Gua Eshab-ı Kehf, yang kini sebuah destinasi wisata di wilayah utara Kota Tarsus, Provinsi Mersin. Kemudian, Gua Eshab-ı Kehf Kulliye (Kompleks Utsmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras. Pemerinta...